KONSEP EVALUASI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

KONSEP EVALUASI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

I. PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Manusia merupakan mahkluk ciptaan yang paling sempurna diantara seluruh mahkluk yang diciptakan ole Allah SWT. Karena manusia diciptakan dengan diberikan otak untuk berfikir dan nafsu (kehendak bebas).
      apabila manusia menggunakan otaknya untukberfikir maka ia dapat mengalahkan mulia malaikat namun apabila dia dikuasai ole nafsu atau memperturuti kehendak bebas tersebut maka tidaklah manusia itu lebih hina dari pada binatang.
Sebagaimana manusia diciptakan itu berpasang-pasangan atau ada yang berjenis kelamin laki-laki dan wanita, maka tidaklah merka diciptakan mempunyai tujuan yang sangat baik dan terencana. Manusia diciptakan dengan adanya nafsu atau kehendak bebas maka sudah menjadi fitrah bawa mereka mempunyai ketertarikan kepada lain jenisnya. Maka islam sendiri memiliki aturan untuk menangapi itu agar tidak terjadi sesuatu al yang dapat merugikan kedua pihak tersebut maupun orang lain.
Nah dalam makalah kami ini membahas tentang pernikahan yang dimana pernikahan tersebut adalah suatu cara atau jalan untuk menanggapi hal masalah ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Jika mereka telah melakukan pernikahan atau perkawinan lalu melakukan suatu ubungan maka tidak akan menimbulkan suatu hal yang dapat merugikan kedua belah pihak atau orang lain dan bahkan al tersebut menjadi suatu kegiatan yang dapatmenghasilkan pahala antara keduanya. 

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian pernikahan.
2.    Hukum dan dalil pernikahan.
3.      Tujuan umum pernikahan.
4.      Bagaimanakah Konsep mahram.

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian pernikahan.
2.      Untuk mengetahui hukum dan dalil pernikaan.
3.      Untuk mengetahui tujuan umum pernikaha.
4.      Untuk mengetahui bagaimana konsep mahram.

II.    PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pernikahan.
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki – laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An – Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Artinya: Maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja . atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (An – Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki – laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain – lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat – syarat tertentu.
B.       HUKUM DAN DALILNYA
Tentang hukum malkukan pernikahan, ibnu Rusyd menjelaskan:
     Segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebahagian orang, sunnat untuk sebahagian lainnya dan muba untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam – macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
1.    Sunnah, bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi  kalau  tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat. Sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 32 dijelaskan.
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
2.    Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
3.    Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
Firman Allah SWT :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya : “Hendaklah menahan diri orang – orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
4.    Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia – nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak. Karena akan menimbulkan kerusakan sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:
5.    Mubah, bagi orang – orang yang tidak terdesak oleh hal – hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

C.      HIKMAH DAN TUJUAN
1.    Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman Allah SWT :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan diantara tanda – tanda kekuasaa-Nya ialah dia menciptkan istri – istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum/30:21)
2.    Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan – pebuatan maksiad.

3.    Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari
yang satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki – laki dan perempuan.
Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai – nilai kemanusiaan.
4.    Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.”
5.    Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
D.      KONSEP MAHRAM.
Mahram secara bahasa (Arab) mengandung arti yang diharamkan. Secara istilah, Mahram mengandung arti orang-orang yang haram dinikahi. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni misalnya mengartikan Mahram dengan semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan), persusuan, atau pernikahan. Istilah Muhrim juga kerap digunakan untuk arti mahram. Namun secara bahasa Muhrimmengandung arti yang berbeda sekali, yaitu orang yang ihram baik ketika haji maupun umroh.
Di dalam fiqh klasik, isu mahram tidak hanya muncul dalam topik munakahat (pernikahan), tetapi juga dalam topik lain seperti thaharah (bersuci) yakni bahwa laki-laki dan perempuan yang mahram jika bersentuhan kulit tidak membatalkan wudlu, dan safar (bepergian) yakni bahwa laki-laki harus menyertai dan menjaga perempuan yang menjadi mahramnya ketika bepergian, musafaha (berjabat tangan) yakni bahwa laki-laki dan perempuan mahram boleh berjabat tangan, khalwat (menyendiri) yakni laki-laki dan perempuan mahram boleh berduaan di tempat sepi. 
Dalam konteks pernikahan, tidak ditemukan perbedaan pendapat bahwa laki-laki dan perempuan mahram tidak boleh menikah. Hal ini disebabkan dalilnya cukup jelas dalam al-Qur'an (Qs. An-Nisa/4:22-23). Namun dalam hal bepergian, khalwat, wudhu, dan jabat tangan, para ulama berbeda pendapat. Contohnya adalah dalam konteks wudhu di mana kata kuncinya adalah lamastum an-nisa (al-Maidah/6:6). Imam Hanafi berpendapat bahwa istilah tersebut berarti bersetubuh sebagaimana digunakan al-Qur'an di al-Baqarah/2:236: "Jika kalian mencerai sebelum menyentuh (bersetubuh dengan) mereka....artinya menyentuh laki-laki bukan mahram tidak batal wudhunya". Imam Syafi'i berpendapat menyentuh (anggota badan manapun) perempuan yang bukan mahramadalah batal, sedangkan Imam Malik berada di antara keduanya dengan berpendapat bahwa bersentuhan dengan perempuan disertai syahwatlah yang membatalkan wudhu. Perbedaan pendapat di kalangan Madzhabjuga terjadi dalam membicarakan mahram di konteks lainnya.
Kesepakatan ulama dalam membicarakan mahram pada konteks pernikahan dan perbedaan pendapat yang cukup tajam dalam topik lainnya sebetulnya mengindikasikan bahwa penerapan mahram sebagai dasar etika relasi laki-laki dan perempuan itu dinamis, yakni diatur menurut perkembangan yang terjadi. Pada prinsipnya relasi itu harus didasarkan dan berdampak pada kemaslahatan laki-laki dan perempuan sebagai pribadi, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat.
konsep ulama tentang mahram ini juga didasarkan pada ayat dan hadis. Hanya saja kita tahu ada 6000 lebih ayat di dalam al-Qur'an dan jumlah hadis tentu saja jauh lebih banyak lagi. Perbedaan dalam memilih ayat dan hadis dan dalam memahami ayat dan hadis yang sama menyebabkan para ulama berbeda pendapat. 

Misalnya mahram dalam konteks safar (bepergian). Ada banyak hadis yang berbicara tentang perlu tidaknya perempuan didampingi mahramnya dalam bepergian. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

'Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya`. (HR Muttafaq 'alaihi),'Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya'. (HR. Muttafaq 'alaihi), (Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah,"Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun istriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,`Pergilah haji bersama istrimu`. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.), `Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya. Beliau bersabda,"Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata,"Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka'bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah (HR. Bukhari). 

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ada saat-saat di mana ketika itu laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan bepergian, misalnya haji atau bepergian lebih dari tiga hari, dan ada saat-saat di mana mereka tidak memerlukannya. Laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan Mahramnya dalam bepergian yang memerlukan jaminan keselamatan. Sebaliknya, jika jaminan tersebut tidak diperlukan, maka tidak perlu pendampingan. Oleh karena itu, isu utamanya bukanlah boleh tidaknya perempuan bepergian tanpaMahram, melainkan jaminan keselamatan dalam bepergian. 
E.       Macam-Macam Mahram 
Mahram terbagi menjadi tiga kelompok yakni mahram  karena nasab, mahram karena penyusuan dan mahram  mushaharah. 
1. Mahram sebab Keturunan 
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada  perbedaan pendapat di antara para 'Ulama. Allah  subhanahu wataala berfirman : 
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang  perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;  saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak  perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak- anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;  ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan  sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu  yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu  campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu  (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu  mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak 
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang  telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha  Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An Nisa: 23).
2. mahram sebab penyusuan.
Penyusuan yang menyebabkan mahrom adalah yang memenuhi tiga syarat: Pertama: Berasal dari manusia. Jika ada dua anak yang menyusu pada seekor binatang, maka keduanya tidak menjadi bersaudara karena penyusuan tersebut.
Kedua: Lima kali susuan atau lebih secara terpisah. Adapun yang kurang dari lima kali susuan tidak menyebabkan mahrom.
Ketiga: Masih pada masa menyusu, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم. Jika telah melewati masa menyusu maka tidak berpengaruh dan tidak menyebabkan mahrom.
Ada yang berpendapat, bahwa masa menyusu itu adalah dalam dua tahun (pertama), adapun setelah itu tidak termasuk masa menyusu. Ada juga yang mengatakan bahwa masa menyusu adalah sebelum disapih. Ini yang lebih mendekati kebenaran. Sebab, jika bayi telah disapih, maka ia tidak lagi makan susu, tapi memakan makanan lainnya, sehingga saat itu, penyusuan tidak lagi berpengaruh.
Dalil syarat pertama adalah firman Allah سبحانه و تعالى,
“Ibu-ibumu yang menyusui kamu.” (An-Nisa’: 23).
Dalil syarat kedua: Hadits Aisyah رضي الله عنها yang diriwayatkan Muslim, “Dulu yang ditetapkan al-Qur’an adalah sepuluh kali susuan menyebabkan haram (dinikahi), kemudian dihapus menjadi lima kali susuan. Dan ketika Nabi صلی الله عليه وسلم wafat, ketetapannya masih seperti itu.” (HR. Muslim dalam kitab ar-Radha’ (1452)).
3. mahram mushaharah.
Penyebab kemahraman abadi kedua adalah karena mushaharah (مُصَاهَرَة), atau akibat adanya pernikahan sehingga terjadi hubungan mertua menanti atau orang tua tiri. Kemahramannya bukan bersifat sementara, tetapi menjadi mahram yang sifatnya abadi.
Di antara wanita yang haram dinikahi karena sebab mushaharah ini adalah sebagaimana firman Allah SWT yang menyebutkan siapa saja wanita yang haram dinikahi.

وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya: (dan haram menikahi) ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, istri-istri anakmu dari sulbimu.(QS. An-Nisa' : 23)
a. Ibu dari istri (mertua wanita)
Seorang laki-laki diharamkan selama-lamanya menikahi ibu dari istrinya, atau mertua perempuannya. Sifat kemahramannya berlaku untuk selama-lamanya. Bahkan meski istrinya telah meninggal dunia atau telah putus ikatan perkawinannya, misalnya karena cerai dan seterusnya, tetepi mantan ibu mertua adalah wanita yang menjadi mahram selama-lamanya.
Jadi meski sudah berstatus mantan mertua, tetapi tetap haram untuk terjadinya pernikahan antara bekas menantu dengan bekas mertuanya sendiri.
b.  Anak wanita dari istri (anak tiri)
Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah wafat atau bercerai.

Namun ada sedikit pengecualian, yaitu bila pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih boleh untuk dinikahi. Dasarnya adalah firman Allah SWT :

وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya:(dan haram menikahi) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (QS. An-Nisa' : 23)

c.  Istri dari anak laki-laki (menantu)

Seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi istri dari anaknya sendiri, atau dalam bahasa lain menantunya sendiri. Dasar keharamannya adalah firman Allah SWT :

وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya:Dan (haram untuk menikahi) istri-istri dari anak-anakmu yang lahir dari sulbimu. (QS. An-Nisa' : 23)
Dan keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.

d.  Istri dari ayah (ibu tiri)

Sedangkan yang dimaksud dengan istri dari ayah tidak lain adalah ibu tiri. Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai ibu, meski hanya ibu tiri. Dan status ibu tiri sama haramnya untuk dinikahi sebagaimana haramnya menikahi ibu kandung. Dalil pengharaman untuk menikahi ibu tiri adalah firman Allah SWT :

وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاء سَبِيلاً
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa' : 22)

III.   PENUTUP


KESIMPULAN
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki – laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.

Hikmah dan tujuan pernikahan adalah sebagai berikut:
1.    Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
2.    Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.
3.    Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
4.    Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
5.    Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.

Mahram secara bahasa (Arab) mengandung arti yang diharamkan. Secara istilah, Mahram mengandung arti orang-orang yang haram dinikahi. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni misalnya mengartikan Mahram dengan semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan), persusuan, atau pernikahan. Istilah Muhrim juga kerap digunakan untuk arti mahram. Namun secara bahasa Muhrimmengandung arti yang berbeda sekali, yaitu orang yang ihram baik ketika haji maupun umroh.
Di dalam fiqh klasik, isu mahram tidak hanya muncul dalam topik munakahat (pernikahan), tetapi juga dalam topik lain seperti thaharah (bersuci) yakni bahwa laki-laki dan perempuan yang mahram jika bersentuhan kulit tidak membatalkan wudlu, dan safar (bepergian) yakni bahwa laki-laki harus menyertai dan menjaga perempuan yang menjadi mahramnya ketika bepergian, musafaha (berjabat tangan) yakni bahwa laki-laki dan perempuan mahram boleh berjabat tangan, khalwat (menyendiri) yakni laki-laki dan perempuan mahram boleh berduaan di tempat sepi. 

DAFTAR PUSTAKA


https://almanhaj.or.id/3232-tujuan-pernikahan-dalam-islam.html
rahman ghozali abdul, 2003. Fikih munakahat. kencana: prenada media group

Komentar

Postingan Populer