KONSEP EVALUASI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
KONSEP
EVALUASI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
I. PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia merupakan mahkluk ciptaan yang paling
sempurna diantara seluruh mahkluk yang diciptakan ole Allah SWT. Karena manusia
diciptakan dengan diberikan otak untuk berfikir dan nafsu (kehendak bebas).
apabila
manusia menggunakan otaknya untukberfikir maka ia dapat mengalahkan mulia
malaikat namun apabila dia dikuasai ole nafsu atau memperturuti kehendak bebas
tersebut maka tidaklah manusia itu lebih hina dari pada binatang.
Sebagaimana manusia diciptakan itu berpasang-pasangan
atau ada yang berjenis kelamin laki-laki dan wanita, maka tidaklah merka
diciptakan mempunyai tujuan yang sangat baik dan terencana. Manusia diciptakan
dengan adanya nafsu atau kehendak bebas maka sudah menjadi fitrah bawa mereka
mempunyai ketertarikan kepada lain jenisnya. Maka islam sendiri memiliki aturan
untuk menangapi itu agar tidak terjadi sesuatu al yang dapat merugikan kedua
pihak tersebut maupun orang lain.
Nah dalam makalah kami ini membahas tentang
pernikahan yang dimana pernikahan tersebut adalah suatu cara atau jalan untuk
menanggapi hal masalah ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Jika mereka
telah melakukan pernikahan atau perkawinan lalu melakukan suatu ubungan maka
tidak akan menimbulkan suatu hal yang dapat merugikan kedua belah pihak atau
orang lain dan bahkan al tersebut menjadi suatu kegiatan yang dapatmenghasilkan
pahala antara keduanya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
pernikahan.
2.
Hukum dan dalil pernikahan.
3. Tujuan umum pernikahan.
4. Bagaimanakah Konsep mahram.
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian pernikahan.
2.
Untuk
mengetahui hukum dan dalil pernikaan.
3.
Untuk
mengetahui tujuan umum pernikaha.
4.
Untuk mengetahui bagaimana konsep mahram.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan.
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia
sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut
istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki –
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut
terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan
perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan
ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang diatur dengan pernikahan
ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki –
laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat
yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda
dengan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak dibina dengan
sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu,
keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali
pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga
antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat
menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan
menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan
terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An – Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا
تَعُولُوا
Artinya: ” Maka
kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya” (An – Nisa : 3).
Ayat
ini memerintahkan kepada orang laki – laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan
kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain – lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat – syarat tertentu.
B.
HUKUM
DAN DALILNYA
Tentang
hukum malkukan pernikahan, ibnu Rusyd menjelaskan:
Segolongan fuqaha’, yakni jumhur
(mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan
zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama malikiyah
mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebahagian orang, sunnat
untuk sebahagian lainnya dan muba untuk segolongan yang lain. Demikian itu
menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada
umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi
yang bermacam – macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
1.
Sunnah, bagi
orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan,
tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat
zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.
Sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 32 dijelaskan.
وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
2.
Wajib, bagi
orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan
terjerumus dalam perzinaan.
Sabda
Nabi Muhammad SAW. :
“Hai
golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah
menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang
dilarang oleh agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak
sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.”
(HR Bukhari Muslim).
3.
Makruh, bagi
orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu
memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
Firman
Allah SWT :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ
لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya : “Hendaklah menahan diri orang – orang yang
tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian
karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
4.
Haram, bagi
orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia –
nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi
belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak. Karena akan
menimbulkan kerusakan sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195
melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:
5.
Mubah, bagi
orang – orang yang tidak terdesak oleh hal – hal yang mengharuskan segera nikah
atau yang mengharamkannya.
C.
HIKMAH
DAN TUJUAN
1.
Perkawinan
Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan
perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan
tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman
Allah SWT :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan diantara tanda – tanda kekuasaa-Nya ialah
dia menciptkan istri – istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya. dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum/30:21)
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan
maksiad.
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran
kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup manusia
berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana mestinya.
Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan berbagai
perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa
penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan
untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan
– pebuatan maksiad.
3.
Perkawinan
untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa
manusia diciptakan dari
yang
satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak
menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki – laki dan perempuan.
Memang manusia bisa berkembang biak tanpa
melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur
silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat
melestarikan keturunan dan menunjang nilai – nilai kemanusiaan.
4.
Untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk
mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik
kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu
lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal
shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah
(sedekah).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“… Seseorang di antara kalian bersetubuh
dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat
keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita
melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang
suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula
jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh
pahala.”
5.
Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan
Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan
untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
D.
KONSEP MAHRAM.
Mahram secara bahasa (Arab) mengandung arti yang
diharamkan. Secara istilah, Mahram mengandung arti orang-orang yang haram
dinikahi. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni misalnya mengartikan Mahram dengan semua orang yang haram untuk
dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan), persusuan, atau
pernikahan. Istilah Muhrim juga kerap digunakan untuk arti
mahram. Namun secara bahasa Muhrimmengandung
arti yang berbeda sekali, yaitu orang yang ihram
baik ketika haji maupun umroh.
Di dalam fiqh klasik, isu
mahram tidak hanya muncul dalam topik munakahat (pernikahan), tetapi juga dalam topik
lain seperti thaharah (bersuci) yakni bahwa laki-laki dan
perempuan yang mahram jika bersentuhan kulit tidak membatalkan wudlu, dan safar (bepergian) yakni bahwa laki-laki
harus menyertai dan menjaga perempuan yang menjadi mahramnya ketika bepergian, musafaha (berjabat tangan) yakni bahwa
laki-laki dan perempuan mahram boleh berjabat tangan, khalwat (menyendiri) yakni laki-laki
dan perempuan mahram boleh berduaan di tempat sepi.
Dalam konteks pernikahan, tidak ditemukan
perbedaan pendapat bahwa laki-laki dan perempuan mahram tidak boleh menikah. Hal ini
disebabkan dalilnya cukup jelas dalam al-Qur'an (Qs. An-Nisa/4:22-23). Namun
dalam hal bepergian, khalwat,
wudhu, dan jabat tangan, para ulama berbeda pendapat. Contohnya adalah dalam
konteks wudhu di mana kata kuncinya adalah lamastum
an-nisa (al-Maidah/6:6).
Imam Hanafi berpendapat bahwa istilah tersebut berarti bersetubuh sebagaimana
digunakan al-Qur'an di al-Baqarah/2:236: "Jika
kalian mencerai sebelum menyentuh (bersetubuh dengan) mereka....artinya
menyentuh laki-laki bukan mahram tidak batal wudhunya". Imam
Syafi'i berpendapat menyentuh (anggota badan manapun) perempuan yang bukan mahramadalah batal, sedangkan Imam
Malik berada di antara keduanya dengan berpendapat bahwa bersentuhan dengan
perempuan disertai syahwatlah
yang membatalkan wudhu. Perbedaan pendapat di kalangan Madzhabjuga terjadi dalam
membicarakan mahram di konteks lainnya.
Kesepakatan ulama dalam
membicarakan mahram pada konteks pernikahan dan perbedaan
pendapat yang cukup tajam dalam topik lainnya sebetulnya mengindikasikan bahwa
penerapan mahram sebagai dasar etika relasi laki-laki
dan perempuan itu dinamis, yakni diatur menurut perkembangan yang terjadi. Pada
prinsipnya relasi itu harus didasarkan dan berdampak pada kemaslahatan laki-laki
dan perempuan sebagai pribadi, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat.
konsep ulama tentang mahram ini juga didasarkan
pada ayat dan hadis. Hanya saja kita tahu ada 6000 lebih ayat di dalam
al-Qur'an dan jumlah hadis tentu saja jauh lebih banyak lagi. Perbedaan dalam
memilih ayat dan hadis dan dalam memahami ayat dan hadis yang sama menyebabkan
para ulama berbeda pendapat.
Misalnya mahram dalam konteks safar (bepergian). Ada banyak hadis yang berbicara tentang perlu tidaknya perempuan didampingi mahramnya dalam bepergian. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
'Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya`. (HR Muttafaq 'alaihi),'Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya'. (HR. Muttafaq 'alaihi), (Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah,"Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun istriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,`Pergilah haji bersama istrimu`. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.), `Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya. Beliau bersabda,"Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata,"Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka'bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah (HR. Bukhari).
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ada saat-saat di mana ketika itu laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan bepergian, misalnya haji atau bepergian lebih dari tiga hari, dan ada saat-saat di mana mereka tidak memerlukannya. Laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan Mahramnya dalam bepergian yang memerlukan jaminan keselamatan. Sebaliknya, jika jaminan tersebut tidak diperlukan, maka tidak perlu pendampingan. Oleh karena itu, isu utamanya bukanlah boleh tidaknya perempuan bepergian tanpaMahram, melainkan jaminan keselamatan dalam bepergian.
Misalnya mahram dalam konteks safar (bepergian). Ada banyak hadis yang berbicara tentang perlu tidaknya perempuan didampingi mahramnya dalam bepergian. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
'Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya`. (HR Muttafaq 'alaihi),'Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya'. (HR. Muttafaq 'alaihi), (Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah,"Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun istriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,`Pergilah haji bersama istrimu`. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad.), `Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya. Beliau bersabda,"Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata,"Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka'bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah (HR. Bukhari).
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ada saat-saat di mana ketika itu laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan bepergian, misalnya haji atau bepergian lebih dari tiga hari, dan ada saat-saat di mana mereka tidak memerlukannya. Laki-laki diperintahkan untuk mendampingi perempuan Mahramnya dalam bepergian yang memerlukan jaminan keselamatan. Sebaliknya, jika jaminan tersebut tidak diperlukan, maka tidak perlu pendampingan. Oleh karena itu, isu utamanya bukanlah boleh tidaknya perempuan bepergian tanpaMahram, melainkan jaminan keselamatan dalam bepergian.
E.
Macam-Macam Mahram
Mahram terbagi menjadi tiga
kelompok yakni mahram karena nasab,
mahram karena penyusuan dan mahram
mushaharah.
1. Mahram sebab Keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para
'Ulama. Allah subhanahu wataala berfirman :
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak- anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An Nisa: 23).
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An Nisa: 23).
2. mahram sebab penyusuan.
Penyusuan yang menyebabkan mahrom adalah yang
memenuhi tiga syarat: Pertama: Berasal dari manusia. Jika ada dua anak yang
menyusu pada seekor binatang, maka keduanya tidak menjadi bersaudara karena
penyusuan tersebut.
Kedua: Lima kali susuan atau lebih secara
terpisah. Adapun yang kurang dari lima kali susuan tidak menyebabkan mahrom.
Ketiga: Masih pada masa menyusu, berdasarkan
sabda Nabi صلی الله عليه وسلم. Jika telah melewati masa menyusu maka tidak berpengaruh dan
tidak menyebabkan mahrom.
Ada yang berpendapat, bahwa masa menyusu itu
adalah dalam dua tahun (pertama), adapun setelah itu tidak termasuk masa
menyusu. Ada juga yang mengatakan bahwa masa menyusu adalah sebelum disapih.
Ini yang lebih mendekati kebenaran. Sebab, jika bayi telah disapih, maka ia
tidak lagi makan susu, tapi memakan makanan lainnya, sehingga saat itu,
penyusuan tidak lagi berpengaruh.
Dalil syarat pertama adalah firman Allah سبحانه و
تعالى,
“Ibu-ibumu yang menyusui kamu.” (An-Nisa’: 23).
Dalil syarat kedua: Hadits Aisyah رضي الله
عنها yang diriwayatkan Muslim,
“Dulu yang ditetapkan al-Qur’an adalah sepuluh kali susuan menyebabkan haram
(dinikahi), kemudian dihapus menjadi lima kali susuan. Dan ketika Nabi صلی الله
عليه وسلم wafat, ketetapannya masih
seperti itu.” (HR. Muslim dalam kitab ar-Radha’ (1452)).
3. mahram mushaharah.
Penyebab kemahraman abadi
kedua adalah karena mushaharah (مُصَاهَرَة), atau akibat adanya
pernikahan sehingga terjadi hubungan mertua menanti atau orang tua tiri. Kemahramannya bukan bersifat sementara, tetapi menjadi mahram yang
sifatnya abadi.
Di
antara wanita yang haram dinikahi karena sebab
mushaharah ini adalah sebagaimana firman Allah SWT yang menyebutkan siapa saja
wanita yang haram dinikahi.
وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya: (dan haram menikahi) ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya, istri-istri anakmu dari
sulbimu.(QS. An-Nisa' : 23)
a. Ibu dari
istri (mertua wanita)
Seorang
laki-laki diharamkan selama-lamanya menikahi ibu dari
istrinya, atau mertua perempuannya. Sifat kemahramannya berlaku untuk
selama-lamanya. Bahkan meski istrinya telah meninggal dunia atau telah putus ikatan
perkawinannya, misalnya karena cerai dan seterusnya, tetepi mantan ibu mertua
adalah wanita yang menjadi mahram selama-lamanya.
Jadi
meski sudah berstatus mantan mertua, tetapi tetap haram untuk terjadinya
pernikahan antara bekas menantu dengan bekas mertuanya sendiri.
b. Anak wanita dari istri (anak tiri)
Bila
seorang laki-laki menikahi seorang janda
beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya
itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah wafat atau
bercerai.
Namun
ada sedikit pengecualian, yaitu bila pernikahan dengan janda itu belum sampai
terjadi hubungan suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari
janda itu masih boleh untuk dinikahi. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي
حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ
دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya:(dan haram menikahi) anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya. (QS. An-Nisa' : 23)
c. Istri dari anak laki-laki (menantu)
Seorang
laki-laki diharamkan untuk menikahi istri dari anaknya sendiri, atau dalam
bahasa lain menantunya sendiri. Dasar keharamannya adalah firman Allah SWT :
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya:Dan (haram
untuk menikahi) istri-istri dari anak-anakmu yang lahir dari sulbimu. (QS.
An-Nisa' : 23)
Dan
keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu barangkali
sudah tidak lagi menjadi menantu.
d. Istri dari ayah (ibu tiri)
Sedangkan
yang dimaksud dengan istri dari ayah tidak lain adalah ibu tiri. Para wanita
yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda
dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai
ibu, meski hanya ibu tiri. Dan status ibu tiri sama haramnya untuk dinikahi
sebagaimana haramnya menikahi ibu kandung. Dalil
pengharaman untuk menikahi ibu tiri adalah firman Allah SWT :
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ
آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتًا وَسَاء سَبِيلاً
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa' : 22)
III.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia
sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut
istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki –
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut
terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan
perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan
ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang diatur dengan pernikahan
ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki –
laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat
yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Hikmah dan tujuan pernikahan adalah sebagai berikut:
1.
Perkawinan
Dapat Menentramkan Jiwa
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan
maksiad.
3.
Perkawinan
untuk Melanjutkan Keturunan
4.
Untuk Meningkatkan
Ibadah Kepada Allah
5. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan
Pandangan.
Mahram secara bahasa (Arab) mengandung arti yang
diharamkan. Secara istilah, Mahram mengandung arti orang-orang yang haram
dinikahi. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni misalnya mengartikan Mahram dengan semua orang yang haram untuk
dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan), persusuan, atau
pernikahan. Istilah Muhrim juga kerap digunakan untuk arti
mahram. Namun secara bahasa Muhrimmengandung
arti yang berbeda sekali, yaitu orang yang ihram
baik ketika haji maupun umroh.
Di dalam fiqh klasik, isu
mahram tidak hanya muncul dalam topik munakahat (pernikahan), tetapi juga dalam topik
lain seperti thaharah (bersuci) yakni bahwa laki-laki dan
perempuan yang mahram jika bersentuhan kulit tidak membatalkan wudlu, dan safar (bepergian) yakni bahwa laki-laki
harus menyertai dan menjaga perempuan yang menjadi mahramnya ketika bepergian, musafaha (berjabat tangan) yakni bahwa
laki-laki dan perempuan mahram boleh berjabat tangan, khalwat (menyendiri) yakni laki-laki
dan perempuan mahram boleh berduaan di tempat sepi.
DAFTAR PUSTAKA
https://almanhaj.or.id/3232-tujuan-pernikahan-dalam-islam.html
rahman ghozali abdul, 2003. Fikih munakahat. kencana: prenada media group


Komentar
Posting Komentar