MASALAH LINGKUNGAN DAN JENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM
MASALAH LINGKUNGAN DAN JENDER
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pendidikan merupakan faktor utama dalam
pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik
atau buruknya pribadi manusia. Disisi lain proses perkembangan dan pendidikan
manusia tidak hanya terjadi dan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang ada
dalam sistem pendidikan formal (sekolah) saja. Manusia selama hidupnya akan
selalu mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga
lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan.
Jika kita kembali membaca ulang tentang rumusan tujuan
pendidikan Islam antara lain bahwa Pendidikan Islam bertujuan mencapai
pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan
jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu
pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya :
spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara
individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan
dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada
perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia”.Dalam rumusan
tujuan pendidikan Islam ini tidak dijumpai adanya diskriminasi antara laki-laki
ataupun perempuan yang bernotabene makhluk Allah yang sama-sama sempurna.
Dari
urian diatas dapat diketahui bagaimana pentingnya Lingkungan terhadap
terjadinya proses pendidikan terutama pendidikan Islam dan juga masalah jender
dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, kami akan menguraikan makalah yang
berjudul “Masalah lingkungan dan Jender dalam Pendidikan Islam”.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
Lingkungan Pendidikan.
2.
Masalah
Lingkungan dalam Pendidikan Islam
3.
Masalah Jender dalam Pendidikan Islam
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui Pengertian Lingkungan Pendidikan.
2.
Untuk
mengetahui Masalah Lingkungan dalam Pendidikan Islam.
3.
Untuk
mengetahui Masalah
Jender dalam Pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lingkungan
Pendidikan Islam
Pengertian lingkungan menurut Sartain (ahli
pisikolog Amerika) yang dimaksud dengan lingkungan yaitu meliputi kondisi dan
alam dunia yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita,
pertumbuhan perkembangan atau life processes[[1]].
Sedangkan
Menurut Milieu, yang dimaksud lingkungan ditinjau dari perspektif pendidikan
Islam adalah sesuatu yang ada disekeliling tempat anak melakukan adaptasi,
meliputi:
1.
Lingkungan alam, seperti udara, daratan,
pegunungan, sungai, danau, lautan, dsb.
2.
Lingkungan Sosial, seperti rumah tangga,
sekolah,dan masyarakat[[2]].
Pengertian lingkungan menurut
Zakiah Darajat mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal adat istiadat,
pengetahuan pendidikan dan alam. dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu
yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, ia
adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia atau alam
yang bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan
dengan seseorang[[3]].
Menurut Abuddin Nata bahwa
Lingkungan pendidikan islam adalah suatu institusi atau lembaga dimana
pendidikan itu berlansung yang terdapat didalamnya ciri-ciri keislaman yang
memungkinkan terselenggaranya pendidikan islam dengan baik[[4]].
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat kita simpulkan bahwa
lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang terdapat di sekitar seseorang
dalam pendidikan, baik itu berupa manusia, benda, dan kejadian sebagaiman hal
tersebut dapat mempengaruhi proses pendidikan seseorang.
Kihajar Dewantara mengartikan lingkungan
dengan makna yang lebih simple dan spesifik. Ia mangatakan bahwa apa yang
dimaksud dengan lingkungan pendidikan berada dalam 3 pusat lembaga pendidikan
yaitu:
1.
Lingkungan keluarga
2.
Lingkungan Sekolah
Menurut Drs.Abdurrahman Saleh ada tiga macam
pengaruh lingkungan pendidikan terhadap keberagaman anak, yaitu:
1.
Lingkungan yang acuh tak acuh terhadap agama.
Lingkungan semacam ini adakalanya berkebaratan terhadap pendidikan agama, dan
adakalanya pula agar sedikit tahu tentang hal itu.
2.
Lingkungan yang berpegang teguh kepada tradisi
agama tetapi tanpa keinsyafan batin. Biasanya lingkungan demikian menghasilkan
anak-anak beragama yang secara tradisional tanpa kritik atau beragama secara
kebetulan.
3.
Lingkungan yang memiliki tradisi agama dengan
sadar dan hidup dalam kehidupan agama. Lingkungan ini memberikan motivasi
(dorongan) yang kuat kepada anak untuk memeluk dan mengikuti pendidikan agama
yang ada[[6]].
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa lingkungan pendidikan itu dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
1.
Pengaruh lingkungan positif
2.
Pengaruh lingkungan negative
3.
Pengaruh netral
Dari berbagai
pernyataan diatas dapat kami simpulkan beberapa macam lingkungan sebagai
berikut.
a.
Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah lingkungan utama yang dapat
membentuk watak dan karakter manusia. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana
manusia melakukan komunikasi dan sosialisasi diri dengan manusia lain selain
dirinya. Di keluarga pula manusia untuk pertama kalinya dibentuk baik
sikap maupun kepribadiannya.
Lembaga pendidikan keluarga merupakan lembaga
pendidikan yang pertama, karena didalam keluarga inilah tempat meletakkan
dasar-dasar kepribadian anak.
Dalam ajaran Islam telah dinyatakan oleh Nabi
Muhammad Saw dalam sabdanya yang berbunyi:
كلّ مولودٍ يولد على الفطرة وانّما ابواه يمجّسا
نه او يهـوّ دانه او ينصّرانه
Artinya: “Setiap anak dilahirkan atas dasar
fitrah,maka sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Majusi,
Yahudi dan Nasrani”
Berdasarkan hadist tersebut, jelaslah bahwa
orang tua memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian anak didik. Anak
dilahirkan dalam keadaan suci, adalah menjadi tanggung jawab orang tua untuk
mendidiknya[[7]].
Dalam hal ini Allah berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR …..
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka…..(at-Tahrim:6)
Disinilah letak tanggung jawab orang tua untuk
mendidik anak-anaknya, karena anak adalah amanat Allah yang diberikan kepada
kedua orang tua yang kelak akan diminta pertanggung jawaban atas pendidikan
anak-anaknya.
Dalam hadist lain juga disebutkan
علٍّموا اولادكم السباحـة والرّيامـة (رواه
الزيلني)
Artinya “Ajarilah anak-anakmu berenang dan
memanah” (HR. Zailani)
Yang dimasud dengan berenang dan memanah dalam
hadist ini adalah kewajiban orang tua untuk mendidiknya dalam pendidikan agama
dan pendidikan umum, termasuk di dalamnya adalah pendidikan keterampilan[[8]].
Keluarga dalam perspektif pendidikan Islam
memiliki tempat yang sangat strategis dalam pengembangan kepribadian hidup
seseorang. Baik buruknya kepribadian seseorang akan sangat tergantung pada baik
buruknya pelaksanaan pendidikan Islam di keluarga.
Fungsi keluarga dalam kajian
lingkungan pendidikan sebagai institusi sosial dan institusi pendidikan
keagamaan.
1.
Keluarga sebagai Institusi Sosial
Orang tua berkewajiban untuk mengembangkan
fitrah dan bakat yang dimilikinya. Pendidikan dalam perspektif ini, tidak menempatkan
anak sebagai objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan,
tetapi pendidikan anak berarti mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak
yang dimaksud. Dalam Islam, potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran.
Karena ia cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntut untuk
mengarahkannya.
Posisi keluarga seperti gambar di atas,
menurut M. Noorsyam telah menunjukkan bahwa keluarga pada hakekatnya
berperan sebagai inetitusi sosial. Keluarga menjadi bagian dari masyarakat dan
Negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga, akan menjadi kesadaran bagi
perwujudan masyarakat yang baik.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang
pertama. Di lingkungan ini anak akan diperkenalkan dengan kehidupan sosial.
Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya
menyebabkan ia menjadi bagian dari kehidupan sosial.
2.
Keluarga sebagai Institusi
Pendidikan/Keagamaan
Pada prinsipnya Islam mengakui pada diri
manusia terdapat potensi untuk berbuat baik sekaligus berbuat jahat. Sehingga
Islam berusaha mengarahkan potensi tersebut dalam koridor agama[[9]].
Usaha ke arah tersebut bukan hanya perpindahan sejumlah teori ilmu
pengetahuan, tapi lebih dari itu juga adalah penanaman nilai-nilai moral.
Sejalan dengan itu, hakekat pendidikan pada
dasarnya adalah mewariskan nilai-nilai Islami yang menjadi penuntun dalam
melakoni aktivitasnya yang sekaligus sarana untuk membentuk peradaban manusia[[10]].
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat
dididik dan membutuhkan pendidikan. Dalam perspektif Islam, yang jauh lebih
penting lagi adalah bagaimana orang tua membantu perkembangan psikologis dan
intelektual anak. Aspek ini membutuhkan kasih sayang, asuhan dan perlakuan yang
baik. Termasuk yang jauh lebih penting lagi adalah peran orang tua menanamkan
nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang
diberikan orang tua kepada anak, dituntut agar lebih dapat merangsang anak
dalam melakukan contoh perilaku orang tua (uswatun hasanah).
b.
Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
sangat penting sesudah keluarga. Semakin besar anak, semakin besar
kebutuhannya. Karena keterbatasanya, orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan
anak tersebut. Oleh karena itu,orangtua menyerahkan sebagian tanggung jawabnya
kepada sekolah.
Pada dasarnya sekolah harus merupakan suatu
lembaga yang membantu bagi terciptanya cita-cita keluarga dan masyarakat,
khususnya masyarakat Islam dalam bidang pengajaran yang tidak dapat
secara sempurna dilakukan dalam rumah dan masjid. Bagi ummat Islam, lembaga
pendidikan yang dapat memenuhi harapan ialah lembaga pendidikan Islam, artinya
bukan sekedar lembaga yang didalamnya diajarkan agama Islam, melainkan suatu
lembaga pendidikan yang secara keseluruhan bernafaskan Islam.
Sekolah merupakan lingkungan artifisial yang
sengaja dibentuk guna untuk mendidik dan membina generasi muda ke arah tujuan
tertentu, terutama untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kecakapan hidup
( life skill) yang dibutuhkan kemudian hari.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap perkembangan anak-anak dan remaja[[11]].
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
melaksanakan pembinaan, pendidikan, pengajaran dengan sengaja, teratur dan
terencana. Pendidikan yang berlangsung di sekolah bersifat sistematis,
berjenjang, dan dibagi dalam waktu-waktu tertentu yang berlansung dari taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi[[12]].
Telah diakui berbagai pihak bahwa peran sekolah
bagi pembentukan kepribadian anak sangat besar. Sekolah telah membina anak
tentang kecerdasan, sikap, minat dan lain sebagainya.
Lingkungan sekolah yang positif terhadap
pendidikan islam, yaitu lingkungan sekolah yang memberikan fasilitas dan
motivasi untuk berlangsungnya pendidikan agama islam. Lingkungan sekolah demikian
inilah yang mampu membina anak rajin beribadah, berpandangan luas, dan berdaya
nalar kreatif.
Sedangkan lingkungan sekolah yang netral dan
kurang menumbuhkan jiwa anak untuk gemar beramal, justru menjadikan anak jumud,
picik dan berwawasan sempit sehingga menghambat pertumbuhan anak.
c.
Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lingkungan
yang turut berperan aktif membentuk kepribadian anak. Ada beberapa perkara dan
cara yang dipandang baik metode pendidikan
masyarakat, adalah:
1.
Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh
kebaikan dan pelarang kemungkaran sebagai mana di isyaratkan Allah dalam
firmannya :
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya: “ Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan ummat yang menyeru pada kebajikan ,menyuru pada yang ma’ruf dan
mencegah pada yang mungkar m dan beriman kepada Allah ... “ ( Ali imran :
110 )
2.
Dalam Masyarakat Islam seluruh anak-anak
dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga ketika memanggil seorang
anak , siapapun dia mereka akan memanggilnya dengan “ Hai anak saudaraku ! “ ,
dan sebaliknya setiap anak-anak atau remaja akan memanggil setiap orang tua
dengan panggilan “ Hai Paman !“ hal itu terwujud berkat pengalaman
firman Allah dalam surat al-hujrat 10:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara ... “
semenjak terbitnya fajar Islam , kaum muslimin
telah merasakan tanggung jawab bersama untuk mendidik generasi muda bersumber
dari sahabat anas , Al- Bukhari meriwayatkan masalah tersebut :
Dahulu aku menjadi pelayan Nabi saw. Aku
selalu masuk rumah tampa izin . Suatu hari aku dataang , maka beliau bersabda :
Hai anakku, bagai mana kamu ini , jangan sekali-kali kamu masuk tampa meminta
izin . “ Dari gambaran diatas , Rasulullah saw. telah mengajari Anas untuk
meminta izin dan memanggilnya dengan rasa kekeluargaan “ Wahai anakku ! “
3.
Untuk menghadapi orang-orang yang membiasakan
dirinya berbuat buruk , Islam membina mereka melalui salah satu cara membina
dan mendidik manusia, yaitu kekerasan atau kemarahan .
4.
Pendidikan kemasyarakatan dapat juga dilakukan
melalui kerja sama yang utuh karena bagai manapun, msyarakat muslim adalah
adalah masyarakat yang padu. Rasulullah saw. bersabda : “ Kamu melihat kaum
mukmin didalam salin mengasihi dan salimn menyayangi, seperti halnya tubuh,
jika salah satu anggota tubuh mengeluh sakitmaka anggota tubuh lainnya
turut merasakannya. “ ( HR. Buhari)
5.
Kelima :Pendidikan kemasyarakatan bertumpu
pada landasan afeksi masyarakat, khususnya rasa salin mencintai . dalam diri
generasii muda , perasaan cinta tumbuh seiring dengan kasih sayang yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya sehingga mereka memiliki kesiapan untuk
mencintai orang lain.
6.
Pendidikan masyarakat harus mampu mengajak
generasi muda untuk memilih teman dengan baik dan berdasarkan ketakwaan kepada
Allah. sesuai fitrahnya, kaum remaja, terutama generasi muda yang sudah akil
balig akan cenderung untuk menyukai orang lain dan berbaur dalam setiap suasana[[13]].
C. MASALAH JENDER
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pengertian Jender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin” (Echols, 1983: 265). Dalam Webster’s New
World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku[[14]].
Kata gender menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins
dalam bahasa Arab, sehingga jika seseorang menyebut gender maka yang dimaksud
adalah jenis kelamin. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke
dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, Istilah ini menjadi sangat
lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir[[15]].
Adapun Pengertian gender secara terminologis menurut Robert Stoller adalah untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat
sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis.
Stoller mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang
dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia [[16]].
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat[17].
(Tiemey, tt: 153).
Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance
mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan
dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa
mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin[[18]].
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh
Nasaruddin Umar bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk
memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan
pada rekayasa sosial[19].
(Umar, 1998: 99).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan
sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin yakni
laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan[[20]].
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang digunakan untuk mengidentifikasi peran, relasi,
atribut, peringkat, karakteristik, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Gender
dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social
contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Dalam hal ini Gender
lebih kepada bagaimana pembagian kerja yang lebih sesuai dan porporsional.
2. Konsep gender dalam pandangan Islam
Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan
perempuan terbangaun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena
itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan
dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja,
tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits khususnya
yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki. Hal ini
sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk
menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak kalah
pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai
Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran
Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan
masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan
lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan
derajat di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa
atau keturunan. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas
dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu
diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian
terhadap Allah SWT. Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak
seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak
pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran
Islam (al-Qur’an), sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta
penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada
laki-laki. Allah SWT telah berfirman:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
“Hai
manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan
bertakwalah kamu sekalian kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu
sekalian saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu sekalian (QS.
al-Nisa’ 1).
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
“Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki ataupun
perempuan, sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka sungguh akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami balasi mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl 97)
Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Islam
(al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan
perempuan. Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama
(jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
kebahagiaan dan kemuliaan. Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam
suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan
saling memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, bangsa,
warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik
(kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepadaNya.
Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan
tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya.
Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu
pekerjaan diluar kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah
penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya perbedaan
dalam bembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran Islam sama
sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan pembagian tugas
secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan. Sesuai dengan
kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi tubuh dan
kekuatan yang berbeda. Ada jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh
perempuan, ada pula yang hanya sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil,
menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sementara itu
pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika
harus dibebankan kepada perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat
dikerjakan oleh perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada
dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka
sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus
dibebani dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu
melanggar prinsip keadilan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan
ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk sama rendah
berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu
dengan yang lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk
saling berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki
atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada Allah SWT.
Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang
gender antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah
gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat persoalan
gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari aspek-aspek
ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam, seseorang harus
melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek
tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara akademis hal demikian tidak
dapat dibenarkan (Tafsir, 2008: 147). Misalnya tentang pembagian warisan yang
dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al-Qur’an, bahwa anak
laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan.
Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak
adil. Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada segi
epistemologi. Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain
yang terkait dengan gender maupun yang tidak. Oleh karena itu, jika ada pernyataan
bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka yang harus
dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara
komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada
ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan
persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.
3. GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pada tataran konsep yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul
sebenarnya tidak ditemukan adanya ketidakadilan gender dalam ajaran Islam
maupun pendidikan Islam. KH. Husein Muhammad, seorang kyai dari Cirebon yang
gigih mengkaji masalah kesetaraan gender dalam kitab fiqih, mengatakan bahwa
interpretasi keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi
masyarakat saat itu. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas pada
penafsiran terhadap ayat-ayat yang ada. Pada dasarnya Allah sendiri telah
menempatkan manusia tanpa mengkotak-kotakkannya. Hal tersebut telah banyak
ditegaskan dalam al-Qur’an, antara lain:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah
yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
Al-Hujurat 13).
Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Allah
menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama. Karenanya tidak ada
alasan untuk menempatkan peranan perempuan di bawah posisi dan peranan
laki-laki (Santi, 2002: 52).
Jika pada masa Nabi SAW adalah masa yang ideal bagi
kehidupan perempuan, maka sepeninggal beliau SAW banyak terjadi perubahan besar
dalam struktur masyarakat Islam.
Perubahan itu berawal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi
sistem monarki yang absolut. Sistem patriarki yang feodalistik dan hirarkis
muncul kembali untuk mengembalikan status quo kaum lelaki yang sebelumnya telah
dilindas oleh reformasi Islam yang berlangsung ketika Nabi masih hidup (Santi,
2002: 53). Hal demikian ini pada gilirannya berimbas bahkan telah mewarnai
dunia pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang strategis
dalam mentransformasikan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Budaya
yang bias gender dapat berkembang dan tetap ada tidak lepas dari proses
pendidikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Munculnya perbedaan
gender di masyarakat merupakan estafet dari generasi satu ke generasi
berikutnya melalui proses pendidikan yang tidak berbasis pada keadilan dan
kesetaraan gender (Arifin, et. al. 2007:
241). Demikian pula halnya yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam. Sistem
patriarki yang feodalistik dan hirarkis, yang muncul kembali untuk
mengembalikan status quo kaum laki-laki sesudah wafatnya Rasulullah SAW terus
berlangsung dalam proses transformasi budaya melalui dunia pendidikan Islam.
Penentuan peran gender dalam berbagai sistem
masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin.
Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi species antara
laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat
berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan
cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu
memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih
obyektif (Umar, 1999: 4).
Fakta–fakta
biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai macam
pengaruh baik secara psikologis maupun sosiologis yang berimplikasi pada unequal
genderbias (bias ketidakadilan gender), terutama di bidang pendidikan
sebagai faktor penentu dalam kerangka berpikir masyarakat. Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah masalah yang krusial seandainya
perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, ketika hal itu melahirkan
suatu struktur masyarakat yang menimbulkan adanya pihak yang dikorbankan akibat
adanya perbedaan gender yang beraliansi pada konstruksi sosial, maka timbullah
permasalahan tersebut. Konstruksi sosial akibat miss understanding gender menyebabkan
masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity terhadap
perempuan.
Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi
faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang yang lain. Di
Indonesia, kesenjangan gender terlihat hampir di semua sektor kehidupan,
seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah
menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan dan lain-lain. Dengan
rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin perempuan, maka
secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal. Pencanangan wajib
belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun
pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan
peran perempuan.
Ketimpangan
gender dalam konteks Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace
Suryadi, berdasarkan angka statistik kesejahteraan rakyat dari Biro Pusat
Statistik pada tahun 2000/2001 penduduk perempuan yang berpendidikan SD sudah
mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD
yakni 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13%, sedikit lebih
rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15%. Penduduk
perempuan yang berpendidikan SMA adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki
yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan
berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1% yang masih lebih rendah dari penduduk
laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%. (Suryadi, 2004: 19). Hasil
penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa masih terlihat adanya
ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia. Kondisi ini tampak
jelas dalam kenyataan bahwa tingkat pendidikan perempuan pada umumnya masih
lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah penduduk
perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.
Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka
partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok usia maupun jenjang pendidikan.
Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun 2001, angka partisipasi murni
(APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih
kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%. Sedangkan untuk APM tingkat sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP) sudah mengalami kesetaraan gender, meskipun
dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan hasil rendah yaitu 56,62% laki dan
56,30% perempuan. Angka partisipasi murni (APM) untuk sekolah lanjutan tingkat
atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan masih lebih rendah lagi, yaitu
34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan (Suryadi, 2004: 20).
Kompetensi
diri, kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan sesuatu merupakan salah satu
unsur yang harus di miliki oleh perempuan, apabila tidak memiliki kekuasaan
terutama dalam diri sendiri, maka akan berimplikasi kepada ketidak berdayaan
untuk melakukan kekuasaan. Kompentensi diri sangat
di tentukan oleh tingkat pendidikan, apabila pendidikan perempuan itu relatif
rendah maka kemampuan untuk berkompetisi rendah, dan aksesnya juga menjadi
rendah. Kurangnya kompetensi dan kemampuan berkompetisi pada perempuan sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka yang relatif masih rendah.
Pada masa kecil perempuan dituntut untuk menahan
amarah atau ketidaksepakatan demi menyenangkan orang tua. Sejak kecil perempuan
diajarkan untuk tidak mengemukakan pendapat sendiri, sementara itu yang di beri
kebebasan adalah saudara laki-laki, maka pada umumnya perempuan tidak tahu
bagaimana mengelola amarah yang sifatnya negatif, menjadi agresif positif,
ketidakmampuan menahan diri ketika dilanda kesengsaraan, dan menyampaikan apa
yang sesungguhnya mereka inginkan dalam pesan yang jelas terutama kepada orang
tuanya, apa lagi terhadap masyarakat.
Akibat dari tidak adanya agresifitas yang di miliki
perempuan berimplikasi kepada diri perempuan itu sendiri seperti:
a. Perempuan kurang percaya diri (self confidence) karena kemampuan
mereka memang masih terbatas.
b. Perempuan kurang berusaha merebut peluang.
c. Perempuan kurang mendapat dukungan, baik dari keluarga maupun masyarakat apabila
bekerja di sektor publik.
d. Perempuan masih terbelunggu oleh stereotip sebagai penjaga ranah domestik.
e. Perempuan masih kurang memiliki kemampuan manawar (bargaining).
f. Perempuan masih terkungkung dalam tradisi misogonis; dan
g. Perempuan masih di hadang oleh pemahaman dan penafsiran agama yang
didominasi niali-nilai partiarki dan bias gender.
Proses pendidikan yang sedemikian strategis dalam mentransformasikan
nilai-nilai, budaya, ataupun pandangan seringkali tidak disadari telah
mengembangkan budaya ketidakadilan gender. Dalam pendidikan formal di sekolah
misalnya, para pendidik baik guru maupun orang tua menganggap bahwa mereka
telah telah memperlakukan siswa laki-laki maupun perempuan secara sama dan
adil. Padahal guru dan orang tua tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak
memperhatikan, apakah buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah, kurikulum
yang diterapkan, termasuk kegiatan kurikulernya benar-benar terbebas dari bias
gender? Ketidaktahuan guru ataupun orang tua dapat dipahami mengingat konsep
gender masuk ke Indonesia relatif masih baru. Ketidakpekaan guru, termasuk guru
perempuan terhadap kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender juga dapat
dimengerti, karena selama ini tidak ada keberanian untuk mendobrak kemapanan
yang ada (Arifin, et.al. 2007: 241).
Pendidikan selain berfungsi untuk mentransformasikan budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya, juga berfungsi untuk mengubah perilaku menuju
ke arah yang lebih baik. Pendidikan Islam yang seringkali ditempatkan pada
posisi tertuduh sebagai lembaga yang melestarikan ketidakadilan gender,
berkepentingan untuk menampilkan kembali rumusan keadilan gender dalam ajaran
Islam. Tafsir, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami (Tafsir, 2008:
148-150) mengemukakan rumusan tentang gender dalam ajaran Islam sebagai
berikut:
a. Konsep berpasangan
Dalam ajaran Islam
laki-laki dan perempuan itu berpasangan sebagai mitra sejajar dan bukan
berhadapan. Rumusan ini merupakan kunci dalam memahami konsep gender dalam
Islam yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang penting. Rumusan inilah yang
kemudian melahirkan rumusan lain terkait dengan masalah hak dan kewajiban,
keadilan, dan lain-lain antara laki-laki dan permpuan dalam rangka saling
melengkapi dan saling menguatkan.
b. Konsep gender dapat berubah
Gender dalam Islam
termasuk perkara muamalah. Dalam urusan muamalah apa saja dapat dilakukan
selama tidak ada dalil yang melarangnya. Perubahan situasi menyebabkan
perubahan konsep. Situasi sekarang sangat mendukung bagi perempuan untuk
melakukan apa saja sebagaimana halnya laki-laki. Gender Islam merumuskan bahwa
perempuan muslim boleh melakukan pekerjaan apa saja, bahkan boleh melakukan apa
saja selama tidak menghilangkan atribut kemuslimahannya serta mampu
melakukannya.
c. Konsep keadilan
Keadilan merupakan
salah satu prinsip dalam ajaran Islam. Diskriminasi terhadap perempuan
bertentangan dengan prinsip tersebut. Karena perbedaan sifat biologis dan
psikologisnya, maka pembagian kerja secara proporsional antara laki-laki dan
perempuan sesuai dengan kemampuannya merupakan bagian dari implementasi prinsip
keadilan. Kesetaraan gender bukan berarti penyamarataan antara laki-laki dan
perempuan dalam segala hal, karena memang secara kodrati ada hal-hal yang hanya
bisa dilakukan perempuan tetapi tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dan
sebaliknya. Membebani seseorang di luar batas kemampuannya adalah perbuatan
yang tidak adil dan tidak manusiawi. Allah SWT telah berfirman :
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan yang sesuai dengan kekuatannya”
(QS. al-Baqarah 286).
Perlu disadari bahwa
pembagian kerja secara proporsional tersebut sama sekali tidak terkait dengan
tinggi rendahnya derajat laki-laki atau perempuan. Pada dasarnya Islam
membenarkan laki-laki ataupun perempuan untuk melakukan pekerjaan apa saja
selama yang bersangkutan sanggup melaksanakannya serta tidak melanggar aturan
Allah SWT.
Konsep gender seperti
tersebut di atas ada baiknya dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Konsep
gender dari sumber lain dapat juga diajarkan di sekolah-sekolah. Biarlah
peserta didik menentukan sendiri, konsep gender mana yang lebih layak untuk
dianutnya. Mungkin saja konsep ini dapat dimasukkan ke dalam mata pelajaran
agama, biologi, kesehatan, atau mata pelajaran yang lain.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Lingkungan pendidikan perspektif islam adalah
sesuatu yang ada disekeliling tempat anak melakukan adaptasi, meliputi:
1. Lingkungan alam, seperti udara, daratan,
pegunungan, sungai, danau, lautan, dsb.
2. Lingkungan Sosial, seperti rumah tangga,
sekolah,dan masyarakat.
Macam-macam Lingkungan dalam Pendidikan Islam
Menurut Drs. Abdurrahman Saleh, ada
tiga macam pengaruh lingkungan pendidikan terhadap keberagamaan anak, yaitu :
a. Lingkungan yang acuh tak acuh terhadap agama
b. Lingkungan yang berpegang kepada tradisi
agama tetapi tanpa keinsyafan batin.
c.
Lingkungan yang memiliki tradisi agama dengan sadar dan dalam kehidupan agama.
Jenis Lembaga Pendidikan Islam
Menurut Sidi Gazalba, lembaga yang berkewajiban
melaksanakan Pendidikan Islam adalah:
a. Rumah tangga
b. Sekolah
c. Kesatuan sosial
Pada tataran konsep
tidak ditemukan ketidakadilan gender dalam pendidikan Islam. Bias gender yang
terjadi di dunia pendidikan Islam lebih
disebabkan karena adanya pengaruh budaya patriarki feodalistik yang lebih mengedepankan
peran laki-laki daripada perempuan.
Keunggulan laki-laki atas perempuan itu tak bisa lepas dari kondisi
masyarakat pada masanya. Budaya masyarakat Arab yang patriarkis juga berimbas
pada penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, walaupun pada dasarnya Allah
sendiri telah menempatkan manusia pada posisi yang sejajar, tidak ada perbedaan
derajat antara laki-laki dan perempuan. Transformasi budaya yang bias gender
itu terus berkembang melalui proses pendidikan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Munculnya perbedaan gender di masyarakat merupakan estafet dari
generasi satu ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan yang tidak
berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender. Selayaknya dunia pendidikan Islam
mulai memikirkan dan berusaha menampilkan sistem pendidikan yang berbasis
kesetaraan gender berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
An Nahlawi Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press. Jakarta
1996.
Bakry Sama’un, Menggagas Konsep Ilmu
Pendidikan Islam,Pustaka Bani Quraisy. Bandung 2005
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta 1999
http://harun-nasution.blogspot.com/2012/08/lingkungan-pendidikan-dalam-perspektif.html
(11-12-12) (12:15)
Nata Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I , Logos Wacana Ilmu . Jakarta 1997
Saleh Abdurrahman, didaktik dan methodic
Pendidikan Agama, bulan bintang. Jakarta 1969
Umar, Bukhari. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Amzah. 2010
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dan Keluarga
dan Sekolah, Penerbit Ruhama Jakarta 1995.
Zuhairini,dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi
Aksara. Jakarta 1992
Tobroni, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, Civil
Society, dan Multikulturalisme. Malang:
Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM).
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Rineka Putra.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 1996. Gender dalam Persfektif Islam:Studi
terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam
Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,
cet. I. Surabaya: Risalah Gusti.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Ismail, Faisal. 2003. Masa Depan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bakti
Aksara Persada.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Al-Ma’arif.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 1992. Buku III: Pengantar Teknik
Analisa Jender.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Half the World, Half a Chance: an
Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul Gender dan Pembangunan, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di
Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuryanto, Agus. 2001. Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender.
Jogjakarta: UII Press.
Neufelt,Victoria. 1984. Websters New World Dictionary. New York: Websters
New World Clevenlan.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Santi, Budie. 2002. Perempuan dalam Kitab Fikih, dalam Jurnal
Perempuan 23. Jakata Selatan: Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang
Pendidikan.cet. I. Bandung: Genesindo.
Syah, Muhibin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Tiemey, Helen (ed). tt. Women’s Studies Encyclopedia, vol. I . New
York: Green Wood Press.
Umar, Bukhari. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Amzah. 2010
Umar, Nasaruddin. 1998. Perspektif Gender dalam Islam, jurnal
Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember
[5]
Sama’un Bakry, Menggagas Konsep Ilmu Pendidikan
Islam, (Cet, ;Bandung: Pustaka bani
quraisy, 2005), h. 97
[6]
Abdurrahman saleh, Didaktik dan
Methodik Pendidikan Agama, ( Cet,I ;Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 77-78
[9]
Umar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafat Tarbiyyah al-Islamiyyah,diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan
judul “Filsafat Pendidikan Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.
145.
[10]
Muslihusah dan Adi Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial(Cet.I; Yogyakarta: PT.Aditya Medya, 1997), h.
221.
[11]
Desmita,Psikolgi Perkembangan Peserta
Didik,(Cet, I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2009), h. 232
[12]
Drs.Bukhari Umar,M.Ag, Ilmu
Pendidikan Islam, (HAMZAH, Jakarta, 2010), hal.152
[14]
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. (Gramedia,
1983, Jakarta) hal. 265
[16]
Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia.(
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008) hal. 2
[17]
Tiemey, Helen (ed). tt. Women’s Studies Encyclopedia, vol. I . (Green
Wood Press, New York, ) hal. 153
[18]
Mosse, Julia Cleves. 1996. Half the World, terjemahan Hartian
Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan.(Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996) hal. 3
[19]
Umar, Nasaruddin. 1998. Perspektif Gender dalam Islam.(jurnal
Paramadina, 1998) hal. 99



Komentar
Posting Komentar